Hal-Hal yang Menurut Saya Anda Perlu Ketahui tentang 26 Desember (1)
5:44:00 PMIni adalah tulisan dari kak Akhyar, yang ia tulis 16 Januari 2016. Tulisan ini ia tulis sebagai bahan refleksi di hari ke 20 pernikahan. Belum ada apa-apanya memang ya. Membacanya lagi di usia pernikahan yang hampir 9 bulan ternyata cukup menyenangkan. Saya ingin lebih mudah membaca tulisan ini di waktu yang akan datang. Jadilah saya memindahkan tulisan ini ke halaman blog saya sendiri hehe.
Secara umum, pada tulisan ini dijelaskan beberapa hal yang melatarbelakangi tanggal 26 Desember 2015. Tanggal tersebut kami pilih sebagai tanggal pernikahan. Selamat membaca, semoga terhibur.
Beberapa teman yang akrab dengan kenakalan saya dalam beragama menduga saya memilih menikah di tanggal 26 Desember karena hari itu bersebelahan dengan Hari Natal. Menanggapi dugaan seperti itu saya hanya langsung saja tertawa terbahak-bahak. Gaya saya beragama tak ada sangkut-pautnya dengan perayaan Natal umat Nasrani. Jikalau alur pikir saya seperti itu mengapa pula tak sekalian tanggal 25 Desember saja yang saya pilih sebagai hari pernikahan. Lalu besar-besar saya umbar bahwa tagline pernikahan adalah “dengan semangat pengorbanan Tuhan yang rela lahir ke dunia sebagai manusia agar dekat dengan umatnya, saya ingin pula dengan pernikahan ini menyerahkan hidup saya dan keluarga saya untuk melayani manusia sebanyak-banyak.”
Membayangkannya saja saya merinding. Jika saya benar-benar melakukan hal itu, bisa-bisa saya tak lagi dianggap anak oleh kedua orang tua saya. Lebih parah lagi status saya sebagai orang Melayu bisa dicabut seumur hidup. Itu adalah persoalan runyam. Saya sudah letih bertahun-tahun membangun personal branding sebagai “Melayu” dan “Anak guru SD”, lalu kalau dua hal itu sudah tak relevan lagi, apa mesti saya ganti menjadi “Muhammad Akhyar: Bekas Melayu. Dulunya anak guru SD.” Sama sekali tak lucu.
Dari pada saudara-saudara yang sudah sudi membaca ini merasa kesal, ada baiknya saya unggapkan segera alasan mengapa saya memilih tanggal 26 Desember dan bukan 30 Februari. Sebenarnya pilihan tanggal 26 Desember ini adalah pertemuan yang pas antara pilihan hidup sok filosofis saya dan keberuntungan. Begini ceritanya.
Sekitar pertengahan Agustus, seorang perempuan bernama Haniva Az Zahra bertanya kepada saya “andai kita menikah di tahun ini, kira-kira tanggal berapa ya?” Pertanyaan seperti ini jika muncul dari mulut perempuan lain mungkin hanya akan saya balas dengan tertawa saja. Akan tetapi hal ini muncul dari Haniva Az Zahra. Bisa jadi jika saya tak punya jawaban, ia akan menikah dengan pria lain. Melihat beberapa perempuan yang sempat saya suka (tapi kalau dipikir-pikir lagi, saya mungkin hanya tertarik saja dengan mereka) menikah dengan pria lain, sudah pernah saya alami, dan masih tertanggungkan. Akan tetapi jika itu Haniva Az Zahra saya kira saya akan menekadkan diri untuk mengucapkan sumpah yang kemuskilannya setara dengan Sumpah Palapa: saya tak akan mau lagi jatuh cinta apatah lagi membangun hubungan yang serius dengan perempuan mana pun.
Gawatnya, menikah bagi saya adalah konsep yang terlampau mengerikan. Jika ibu-ibu di Sekolah Bermain Matahari berkata “Kak Akhyar kapan menikah. Biar ada yang ngurusin.” Saya hanya tersenyum dan berkata di dalam hati, “bagian yang mana yang perlu diurusin. Memasak, menyuci, merawat tubuh, semua itu bisa saya lakukan sendiri. Mungkin menyusun rencana hidup yang saya agak gagal. Tapi bukankah hidup memang tak bisa direncanakan. Saya sudah berdamai dengan hidup yang biasa-biasa saja.” Atau jikalau ada teman yang sedang giat-giatnya belajar agama lalu memberi nasihat, “kapan lagi Yar menikah. Menikah itu menjaga pandangan. Menenteramkan hati.” Lagi-lagi saya tersenyum dan berkata di dalam hati, “maksud lu dengan kawin lu bisa ngeseks dengan bini lu tanpa perlu merasa bersalah. Kalau kawin cuman buat melegalkan hubungan seksual, entar-entar kalau udah bosen begimane.” Pada pokoknya segala macam keuntungan-keuntungan pernikahan yang saya baca, diunggapkan, dibanggakan, tak ada yang cocok di benak saya.
Inilah yang disebut dilema. Saya percaya semakin kita dewasa, semakin berat dilema yang akan kita temui. Dulu sewaktu kecil dilemanya adalah apakah mau mengangkat pantat ke warung untuk memenuhi titah ibu membeli minyak tanah dengan konsekuensi akan tertinggal lima menit episode Goku melawan Pikolo. Jika pantat tak terangkat dan mata melotot melihat Goku yang bersinar-sinar layar televisi bisa padam tiba-tiba. Ibu dengan kekuasaan tidak tak terbatasnya mengambil alih remote dan mengultimatum: “tak ada minyak, tak ada tv.” Lalu waktu SMA dilema muncul ketika UN. Soal-soal matematika yang hadir di depan mata membuat keringat dingin bercucuran. Nasib IQ yang pas-pasan ditambah sistem pendidikan yang awut-awutan. Kemudian muncul pesan-pesan berisi kunci jawaban yang seratus persen dijamin akurat kebenarannya. Memilih antara “Kelulusan” atau “Kejujuran” bukanlah pilihan yang mudah bagi saya. Manusia yang sedari dini diingatkan berkali-kali bahwa batas antara iman dan tidak adalah kejujuran. Seseorang yang beriman mungkin saja mencuri, mabuk, dan sebagainya, tetapi ia tak mungkin berdusta.
Dan kini saya memasuki fase dilema yang pelik. Perkara eksistensial. Dulu sewaktu kuliah dan belajar Filsafat Manusia, tema eksistensialisme adalah yang paling saya sukai. Saya tak menyangka jika perkara itu benar-benar harus dihadapi persoalannya menjadi lain. Rumit.
Saya sudahi dilema saya.
“Tanggal dua puluh enam Desember saja,” kata saya sembari melihat kalender di telpon genggam.
“Hari apa?” kata Haniva.
“Sabtu.”
“Aku lebih suka menikah di hari Sabtu ketimbang hari Minggu.” Tambahnya lagi.
Beruntung bukan? Andai saja tanggal 26 Desember 2015 adalah hari Jumat (apalagi Jumat Kliwon) tentu kisahnya akan menjadi lain. Mungkin Muhammad Akhyar yang hidup di dunia paralel lain mengalami hal ini. Kasihan ia.
“Mengapa tanggal 26 Desember?”
“Peringatan Tsunami.” Kata saya.
“Lah, kok menikah pada saat bencana terjadi sih?”
“Justru. Ironi. Teodisme.”
Ia langsung pura-pura menutup telinga. Ia tahu akan ada semacam pidato kebudayaan ala-ala Teater Salihara akan digelar.
Saya tertawa. (Semoga kamu yang sudi terus membaca tulisan ini membayangkannya dengan indah ya, mulai dari latar ketika perbincangan ini berlanjut, nada suara ketika dialog dilakukan, hingga ekspresi ketika drama di atas berjalan.)
Saya selalu suka dengan tanggal 26 Desember. Walaupun tak menjadi korban langsung dari peristiwa itu, saya merasakan sendiri betapa kuatnya gempa yang terjadi pagi hari itu. Pagi itu menjadi simbol buat saya. Simbol bahwa hidup adalah ironi.
Bayangkan saja, kita sebagai bangsa yang belum benar-benar sembuh dari krisis ekonomi mesti mendapat musibah yang begitu berat seperti itu. Luar biasanya, pada saat musibah itu pulalah kita sadar betapa kuatnya kita sebagai bangsa. Belum pernah kita melihat sesudah era revolusi bangsa Indonesia bersatu menghadapi sesuatu. Benar-benar bersatu. Lalu gerakan bersenjata yang menguras energi rakyat Aceh selama berpuluh tahun “tiba-tiba” bisa reda akibat mala bernama tsunami. Bukankah ironi ketika rasa persatuan dan perdamaian membutuhkan ratusan ribu nyawa.
Hidup adalah ironi dan oleh karena itu hidup harus dirayakan. Agar hidup bisa sedikit tertanggungkan.
Dulu sekali, 1 November 1755, hari ketika orang-orang Katolik menghormati para santo dan penduduk Lisbon, ibukota Portugal, ramai pergi ke gereja untuk melaksanakan misa. Tak dinyana gempa mengguncang kota itu. Bangunan luluh tak terelakkan. Ribuan anggota jemaah yang berada di dalam katedral meninggal tertimpa reruntuhan. Para penduduk yang sedang di pinggir pantai segera berhamburan ke perahu. Meraka ingin menyelamatkan diri ke laut. Mirisnya, baru saja mereka hendak pergi, gulungan gelombang setinggi enam meter tanpa ampun tiba menghantam mereka. Lisbon belum selesai dihancurkan. Setelah gempa dan tsunami, pijar meletik dari rumah-rumah yang runtuh. Kota terbakar. Selama lima hari. Lebih dari sepuluh ribu jiwa tewas dalam peristiwa itu.
Eropa terguncang atas peristiwa ini. Nafsu memperbesar koloni yang dimiliki bangsa Portugis menciut hingga perlu mikroskop untuk melihatnya. Sejarah kita sebagai bangsa yang diberi gelar “negara demokrasi ketiga terbesar sekaligus negara muslim terbanyak di dunia” tentu akan berbeda jika Portugal tak mengalami bencana ini. Jika belajar sejarah dengan baik, Portugal bukanlah seperti Belanda yang hanya berorientasi ekonomi, mereka berkelana menuju dunia baru dengan tiga motif yang mereka pegang dengan kukuh: gold, glory, dan gospel. (Masih ada yang menganggap mempelajari Sejarah hanya membuang-buang waktu ketika mengetahui hal ini?)
Bencana di Lisboa kala itu tak sekadar menimbulkan simpati, tetapi juga pemikiran filosofis yang sungguh radikal. Voltaire sampai-sampai berani menyatakan “Tout est bien, dites-vous, et tout est necessaire.” Kalimat itu ia tujukan persis di punca teodisme milik Leibniz. Leibniz selalu menganggap Tuhan adalah yang mahaadil. Dalam setiap bencana pasti ada hikmah yang diselipkan Tuhan di sana. Voltaire menentang ini, ia berujar apakah benar di tengah kesengsaraan dan duka lara ini, kita bisa mengatakan semua baik, semua perlu. Aku menghormati Tuhan, tetapi aku mencintai manusia, tambahnya.
Tentu Leibniz tak bisa menanggapi Voltaire, ia wafat empat dasawarsa sebelumnya. Tanggapan malah datang dari seseorang yang belum dikenal di kancah filsafat kala itu, Jean Jacques Rousseau. Ia mengkritik keras Voltaire yang menganggap optimisme “bahwa ada hikmah pada apapun yang terjadi” adalah hal yang kejam. Ia menggugat Voltaire yang kenyang dengan kemewahan hidup sehingga mudah sekali mencemooh optimisme ketika bencana terjadi. Rousseau membandingkan kehidupan Voltaire itu dengan jalan hidupnya yang penuh kesulitan, jika tidak pada optimisme, pada apalagi ia bersandar untuk bertahan hidup.
Pada titik inilah Rousseau dan saya bersepakat walaupun tentu saja bagian “kiri” dari diri saya yang nakal tetap menyukai penentangan Voltaire (ironis ya, padahal Voltaire adalah tokoh yang berasal dari golongan borjuis. Semoga anda memahami ironi ini) terhadap teodisme. Meskipun pada akhirnya optimisme juga sebenarnya melampui apa-apa yang telah diguratkan Tuhan. Seolah Tuhan akan bekerja sesuai dengan jalan pikiran kita. Akan tetapi, menganggap selalu ada harapan untuk hidup yang akan datang, menurut saya, selalu ampuh membuat hidup menjadi lebih tertanggungkan. Membuat hidup selalu pantas untuk dirayakan.
Perihal optimisme, bahwa selalu ada harapan, ini saya akan coba bahas di tulisan berikutnya. Semoga anda masih tertarik mengikutinya, apalagi dalam suasana kalut yang ditebar oleh kelompok teroris belakangan.
Jika Anda lebih suka membaca dalam bentuk pointers, bisa langsung menuju ke sini.
0 comments