Dilema Memilih Skincare (Part 1: Intro)
10:38:00 PMDahulunya, ketika saya duduk di jenjang SD, saya tidak terlalu tertarik merawat diri sendiri. Sangat cuek dengan perawatan. Sampai-sampai ibu saya khawatir dan menggumam, “oh mungkin nanti kali ya, kalau sudah lebih besar, barulah rajin merawat diri sendiri”. Dan saya saat itu menggumam dalam hati, “iya nanti sajalah, kalau sudah butuh, saya merasa baik-baik saja dengan kondisi fisik saya”.
Padahal saya dari kecil sudah berkulit sawo matang, tapi karena super
PD, belum tertarik untuk melakukan ritual kecantikan. Berkulit sawo matang itu
sebenarnya repot, kalau ga dirawat otomatis kulit terlihat kusam, kering,
dlsbnya yang jauh dari kata-kata menarik. Saat itu juga saya berpikir, “penting ya tampil menarik secara fisik?”
Sepertinya karena merasa malas atau karena merasa tidak butuh. Eh sepertinya
dua-duanya sih saya tidak juga sadar pentingnya perawatan.
Ritual yang dilakukan ibu saya di rumah itu biasanya menggunakan bahan-bahan
alami. Ibu saya sebisa mungkin menghindari penggunaan bahan-bahan kimia untuk
perawatan kecantikan. Seperti misalnya: telur, kemiri, dan lidah buaya untuk
rambut, madu untuk wajah dan bibir, santan kelapa, dan bahan lain-lainnya.
Seingat saya, ibu saya memang senang merawat rambut. Perawatan seperti ini kan
kesannya repot ya :D
Entah ini benar atau hanya perasaan saya, saat itu sudah jadi trend bahwa cantik itu ya putih.
Teman-teman saya waktu SD yang dianggap cantik adalah yang tidak berjilbab,
kemudian putih, dan biasanya mereka memang sudah menggunakan minimal facial wash untuk mencuci muka. Saya,
yang berjilbab dan tidak pernah menganggap diri cantik, merasa merawat tubuh
(khususnya wajah) bukanlah hal yang perlu saya lakukan. Toh memang sepertinya
saya sudah aneh dari kecil, menarik perhatian lawan jenis dengan penampilan
fisik bukanlah sesuatu yang menjadi keinginan saya. Lucunya, saat itu seperti
banyaknya anak-anak “nerd”, saya
asyik belajar dan berharap punya prestasi akademis untuk membuat orang tua saya
bangga. Saya lebih senang membaca buku, dari dulu memang anehnya sudah seperti
ini, dan menanti-nantikan pembagian rapor agar saya bisa dibelikan komik Detective Conan.
Saat SMA, saya masih juga cuek dengan perawatan kulit wajah. Ada teman
yang sudah memakai krim dari klinik kecantikan, membawa-bawa sabun bayi untuk
mencuci muka di hampir setiap waktu salat, dan lain-lainnya. Saya tetap cuek
bebek super percaya diri dengan penampilan fisik saya. Waktu itu dengan
bodohnya saya berpikir, “ah saya tetap manis kok, dan saya juga cukup
pintar, dan saya pikir itu super lethal
combination hahahahahahaha”. Padahal mah sebenarnya mungkin saya agak
iri juga ya dengan ritual membersihkan wajah bersama-sama saat wudhu. Tapi
karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan demi menuruti perintah
orang tua, saya tidak berani macam-macam. Percayalah, saya dulu pernah sepakat
dengan pendapat “air wudhu sudah cukup untuk menjaga kondisi wajah jadi lebih
bersinar-sinar” :D
Semuanya berlanjut sampai saya tingkat kedua kuliah Sarjana. Seingat
saya, hingga saya kuliah saya tidak menggunakan lipstick, lipgloss bahkan, kecuali ketika sedang berada di luar
negeri yang membuat kulit jadi super kering. Seingat saya, barulah pada jenjang
kuliah tersebut saya mulai tertarik menggunakan produk body care. Produk body care
saya anggap lebih aman, karena ibu saya selalu khawatir kalau saya salah
menggunakan produk untuk wajah, wajah saya akan dipenuhi oleh jerawat. Hal
tersebut yang jadi pengalaman ibu saya. Saat remaja dulu, ia punya beberapa
jerawat pubertas dan hormonal. Lalu, ia sangat panik mencoba-coba berbagai produk
hingga akhirnya, menurut pengakuannya, wajahnya tidak lagi mulus. Pengalaman
tersebut yang tidak ia inginkan terjadi juga pada diri saya. Oleh karena itu,
untuk menyalurkan hasrat feminin yang akhirnya timbul dari diri saya, saya
memilih produk body care dan hanya
menggunakan facial wash untuk
membersihkan wajah.
Jenjang sekolah hingga awal kuliah sarjana yang saya lalui jauh dari
make-up. Saya mungkin juga terkesan dengan penampilan perempuan yang polos dan
sederhana. Saya belajar percaya diri dengan tampil apa adanya. Barulah ketika
mendekati lulus sarjana, saya yang sudah senang dengan perkembangan fashion mulai mencoba-coba heels dan pakaian kantor. Pakaian kantor
dengan banyak renda dan layer sebenarnya favorit saya, tapi karena pakai jilbab
yang menutup dada, banyak motif baju yang akan jadi terlihat biasa-biasa saja.
Saat itu, saya sudah senang menggunakan heels, senang ke salon untuk perawatan tubuh dan
rambut. Perawatan untuk wajah? Oh masih belum berani hehe.
Sampailah saya di pendidikan profesi psikolog. Di jenjang pendidikan
inilah saya dituntut lebih mengenai penampilan. Ada selentingan yang bahkan
menyatakan, “penampilan itu nomor satu, kompetensi urusan belakangan”. Bukan
selentingan yang baik dan benar sebenarnya, namun pesan yang ingin disampaikan
benar juga. Sebagai psikolog yang memberikan pelayanan jasa, kita perlu tampil
meyakinkan. Terkadang, oh bukan sepertinya seringkali, penampilan yang baik
mencerminkan kemampuan kita. Walaupun ramai juga pendapat yang percaya bahwa
“perempuan cantik itu biasanya bodoh”. Pendapat yang mengerikan dan jahat juga
ya sebenarnya.
Sampai-sampai perempuan pintar jadi takut terlihat cantik. Eh ada ga
sih yang kayak begini? Atau seperti saya, karena merasa pintar jadilah tidak
merasa penting untuk tampil cantik. Seakan-akan cantik dan pintar itu adalah
dua hal yang tidak mungkin untuk disatukan. Di zaman sekarang ini, cantik
dan pintar mendekati sempurna adalah salah dua yang selalu bisa kita upayakan.
Cantik disini bukan hanya mengenai postur fisik anugerah Tuhan, namun
penampilan yang bersih, rapi, dan wangi bisa juga membuat kita jadi menarik.
Jadi, apakah saya masih mempertahankan air wudhu untuk menjaga
kebersihan wajah? Apakah ada di antara teman-teman yang juga masih belum
terbuka matanya mengenai pentingnya perawatan fisik? Apakah ada teman-teman
yang sebenarnya mau perawatan karena sadar usia pelan-pelan merayap ke angka 30
tapi masih bingung harus mulai dari mana? Kalau ada, share dong kisah kalian
dan setelah ini kita akan belajar bersama-sama ;)
See you in my next blog post ya.
Love,
bungaazzahra
4 comments
Sama banget Kak Zahraa, cuek sama penampilan padahal kulit sawo matang :"" Dan baru kerasa sekarang sih pas kuliah. Kalo di kampus, karena anak teknik jadi biasa aja gitu, pada kucel haha. Tapi pas keluar sama temen kampus lain baru deh nyadar : temen temen pada seger kok aku kuseem mulu yak hahaha
ReplyDeleteiya ih sama, aku juga gitu, semoga bisa sama-sama merawat kulit ya hehe ;) terima kasih ya sudah meninggalkan jejak di halaman blog ini..
Deletewah terima kasih ka, bermanfaat sekali infonya :)
ReplyDeleteMbaaa, ini aku banget. Hahahaha. Karena aku anak IT dari SMK, kuliah, kerja dan otomatis temennya mayoritas cowok, jadi gak mikirin banget masalah kulit dan gak pernah pake make up (sampe sekarang).
ReplyDeleteTapi akhirnya sadar kulit tambah kusem, kantong mata tambah parah, sedangkan tuntutan kerja mulai harus ketemu banyak orang. Sekarang lagi coba-coba skin care ini itu. Sempet ada yg bikin jerawatan dan kering. Ada yang gak ngefek apa2. Masih bingung harus pake apa.